“Kamu itu tampan sekali, Gar! Pasti Ibumu cantik,
sayangnya tak memiliki peri kemanusiaan karena telah membuangmu!” Olok Kak Mega.
Cercaan dan hujatan kerap kali kutelan mentah-metah. Banyak
yang tak tega melihat binar indah mataku yang terbuang, namun semua yang
kuterima adalah bentuk ketidaktegaan yang pahit.
“Ibuku tetap yang terbaik mau melahirkan aku di dunia
ini. Mungkin Ibu hanya malu mendapati anaknya yang tak memiliki raga yang utuh.
Aku sungguh mengerti keadaanku.” Belaku di setiap hujatan yang datang.
“Ah…. Kapan kamu mendapatkan kasih sayang? Bahkan aku tak
yakin apakah kamu dilahirkan dengan belaian atau siksaan. Nasib kita sama Gar. Terbuang
dari kasih sayang. Huu... Memadu kasih tanpa tanggung jawab.”
Usia Kak Mega lebih dewasa 7 tahun dariku, terkadang aku
tak mampu menelaah lontarannya.
Namaku Tegar. Nama yang diciptakan sendiri oleh Kak Mega.
Kini usiaku mencapai 7 th, katanya. Masa kecil yang kuingat adalah saat aku
dibawa dalam gerobak sampah di siang malamku oleh seseorang yang kupanggil
Abah. Tutur Kak Mega, Abah adalah tukang sampah yang baik budi. Abah juga lah
yang merawat Kak Mega hingga usianya mencapai 10 tahun.
Sejak Abah meninggal 3 tahun yang lalu, Aku hidup nomaden
bersama Kak Mega di sudut-sudut gelap kota Jogjakarta. Mengendus aroma oli yang
berceceran di bawah kolong jembatan, bersandar pada pintu besi pertokoan,
meringkuk di bawah papan-papan reklame, menghabiskan waktu dengan
nyanyian-nyanyian merdu hasil karya pikiran, pita suara, lidah, dan hatiku yang
berpadu dengan selaras. Kemudian menunggu recehan dijatuhkan di topi lusuh
temuan Kak Mega dari tempat sampah.
Saat pagi menyapa, tak lupa kami berjanji di sudut mana
lagi kami akan duduk meluruskan kaki untuk rehat, sebelum berpencar menelisik
rupiah.
Kak Mega berenang-renang di tumpukan sampah- dipisahkan,
dan di-kilo-kan kembali untuk ditukar kertas bertanda tangan Gubernur
Bank Indonesia. Sedangkan aku harus berjalan di sepanjang kota, berupaya
memikat pengendara yang berhenti karena lampu merah dengan suara lumayanku.
Senja gerimis, tempat rehat kali ini cukup layak. Halte
baru yang dibangun oleh pemkot seminggu lalu, yang belum kami dapati aroma
pesing di pojok-pojoknya.
“Gar, kurasa aku tak dapat membelikanmu makan malam
nanti. Dewi Fortuna tak berpihak padaku. Bagaimana denganmu?”
“Dewi Fortuna? Tadi aku bertemu dengan wanita cantik
di depan Panti Asuhan Ar-Rahmah, dengan kalung menggelantung bertuliskan “DEWI”.
Ia memberiku uang sepuluh ribu. Namun ia tak sempat melihatku. Mungkin dia yang
Kakak maksud. Wanita secantik itu, jelas saja tidak ada di tempat pembuangan
sampah.” Balasku polos.
“Tegar..Tegar.. Dasar bocah polos!” Ledek Kak Mega sambil
tertawa kecil dan men-jegug kepalaku.
***
Semarang, 8 Tahun silam
“Dasar bodoh! Kita
masih sekolah. Kau bisa saja keluar dari sekolah semaumu. Tapi aku?? Bagaimana
dengan kehormatan ayahku jika aku harus keluar sekolah karena kehamilanmu!? Aborsi
bayi itu, Lok!” Sentak Bima dengan beringas.
“Aku takkan
melakukannya mas. Kandunganku sudah masuk 4 bulan. Aku bisa mati jika kau
memaksanya.”
“Kau sungguh tak
mau berpikir bagaimana perasaan menjadi seorang ibu. Aku mencintaimu,sungguh.
Tapi mengapa kau sepicik itu?” Rintih Elok untuk kesekian kalinya, di setiap
perdebatan yang binal.
Kini mentari enggan menyapa. Mukanya masam meski masih
tak kuasa tuk tidak menghangatkan calon ibu yang merintih itu. Jurnal-jurnal
mimpi yang diproses selama 17 tahun hidupnya seakan terhapus dengan berbagai
nuansa kenestapaan.
Ia memforsir dirinya tuk menjadi dewasa. Memejamkan mata
sejenak dan bergumam “Aku Ibumu nak. Aku mencintaimu, dan tak akan tinggalkanmu”.
Ia relakan hidup di bawah nyala dian dan dekap anyaman
bambu reot. Ayah ibunya telah lama meninggal. Ia merasa hanya mendapat kasih
sayang dari kekasihnya itu. Namun kini, entahlah. Bima seperti kuda, liar dan
lupa pada pamongnya. Sesekali menengok untuk membuat keributan yang tak jarang
juga menyiksa kandungan Elok. Desis berat dan mata pucat Elok tak dihiraukan
lagi olehnya. Setelah itu ia suapi Elok dengan bubur pisang. Elok pun tak
mengerti mengapa sikap kekasihnya seangker itu.
***
Gelegar guntur parau yang menemani perang tumpah darah Elok.
Dibantu uluran tangan tetangganya yang hanya dengan dalih ketidak-tegaan
melihat kondisi perempuan kurus sebatang kara itu. Ia pasrah akan hidup dan
mati di jam-jam sekaratnya.
“Manisnya engkau, anakku. Oh, apa yang terjadi dengan
tanganmu?? Cacat tubuhmu telah menyempurnakan hidup ibu, Nak.”
Purnama. Nama yang sengaja disahkan berdasar waktu ia
bernapas pertama kali di dunia. Matanya se-elok mata ibunya. Rambutnya hitam
ikal persis seperti Bapaknya, Bima.
“Berikan bayi itu. Aku akan merawatnya, sayang.” Lagi,
Bima datang di siang bolong, dengan langkah sempoyongan. Mata merah
persis gorila usai gulat. Entah apalagi yang diminumnya kali ini.
“Lebih baik kau pergi dariku sekarang, Bim! Lanjutkan
saja sekolahmu. Tak usah kau risaukan aku. Kami akan sedia menerimamu jika kau
tlah berubah. Kau butuh cermin? Lihatlah dirimu yang tak ada bedanya dengan
pasien RSJ. Seharusnya kau malu membanggakan orang tuamu, namun engkau
sendiri?!” Sentak Elok berani.
“Hey cantik. Anak ini hanya mainan, yang dengan mudahnya
kulempar, kutarik, kudorong, dan kubuang selagi aku bosan. Dan kini aku bosan
melihatmu, sama saat aku melihat anak ini, yang begitu mirip denganmu.” Kata Bima sambil mengangkat kasar Purnama,
hingga membuat tangis bayi itu pecah.
“Berikan bayi itu, Bim” Rebut Elok. – “Ambillah air minum
di dapur, agar kau merasa lebih baik, lalu enyahlah secepatnya.”
***
1 bulan kemudian
Di
suatu sore yang belum pekat. Dalam kelengahan Elok dalam menjaga permata
hatinya. Saat itu ia sedang mandi, setelah menidurkan Purnama yang telah dalam
keadaan harum.
Sepucuk
surat ditemukan Elok di meja kayu depan kamarnya.
Untukmu,
Elok.
Maaf. Aku melakukan ini
semua. Aku tak ingin memulai pertengkaran lagi. Percuma dan hanya menghabiskan
energiku.
Perbuatan
kita mulai terendus.Orang tuaku sempat kaget mendengar berita kita. Entah siapa
yang membocorkan rahasia ini. Aku mengelak berita itu, dan terpaksa harus
membawa anak ini untuk berpisah denganmu. Menghilangkan jejak jika nanti ada
yang menyelidiki di rumahmu, aku akan selamat karena tak ada bukti apapun dari
kita.
Aku pergi ke luar negeri. Hidup bebas dan
sedikit menutupi rasa malu. Kau tak usah memikirkan anakmu lagi! Aku akan
kembali padamu, dan lupakan saja anak yang tak kuharapkan itu.
Tertanda,
Bima.
“PURNAMA.....!!!!!”
Jerit Elok melengking diiringi tangis hebat.
***
9 Tahun Kemudian
“Akhirnya
aku berhasil membangun panti asuhan ini, mungkin panti asuhan terakhir yang
kubangun, lalu aku akan hidup menetap di kota ini.Meski aku harus menengok
puluhan anakku yang tersebar di berbagai daerah setiap minggunya.”
“ Dimana
lagi aku harus mencarinya? Apakah harus ku kumpulkan setiap anak cacat di berbagai
penjuru daerah, lalu mengetes DNA mereka?.
Mungkinkah dia telah membawa anakku ke luar negeri?. Aku rindu padanya
San, Aku tak ingin menghentikan pencarianku, tapi, apa daya aku berjuang
sendiri, menguras energi, waktu, juga uang.” Curhat Elok panjang pada Santi,
tetangga sebelah panti barunya itu, yang dulu merupakan sahabat dekat Elok di Semarang.
“Tak
ada tanda apapun yang ditinggalkan Bima. Sahabat lama Bima yang kini menjadi
rekan bisnisku-pun tak tahu akan tragedi 9 tahun silam itu. Bahkan juga tidak
tahu keberadaan Bima kini. Kabar terakhir yang didengarnya, perusahaan Ayahnya
kolaps, lalu keluarganya hancur.” Jelas Santi.
“Melihat
anak-anak dalam keadaan cacat, hidup
yatim serta miskin, sangat membuat miris. Meski kini mereka merasa senang hidup
bersamaku, berkumpul, makan enak, ada tempat berteduh. Lalu bagaimana dengan
anakku sendiri? Tak jelas apakah ia masih hidup. Jika memang benar Bima
membuangnya, dan kini masih hidup, aku tak yakin ada orang baik yang mau
mengangkat ia. Ya Tuhan... ”
***
“Assalamualaikum,
Rosok Pak, Buk?”
“Waalaikumsalam”
Jawab salah satu anak panti yang bernama Rika seraya keluar dari balik pintu
ruang seni panti.
“Adek,
ada rosokan yang ingin dijual?”
Sebelum
sempat dijawab, Elok ikut keluar dan menyahut, “Ada Nak. Silakan masuk dulu.”
“Siapa
nama kamu, Nak? Dimana kamu tinggal?” Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan
Elok saat bertemu dengan anak jalanan.
Setelah
lama berbincang, Elok dan anak yang bernama Mega itu semakin akrab. Baru disadari
oleh Mega bahwa wanita itulah yang dimaksud Tegar beberapa hari lalu. Wanita
cantik dengan kalung bertuliskan “DEWI”.
Mega
sangat kagum padanya. Wanita cantik,terlihat kaya,namun berhati lembut, yang
bersedia menghidupi anak-anak yatim yang cacat.
“Tegar
bisa hidup disini” Bisik Mega halus.
“Siapakah
Tegar itu, Nak?” Tanya Elok.
“Dia
adikku, Bu Elok. Saya berjanji bertemu di terminal siang ini. Saya harus segera
menemuinya. Saya pamit dulu Bu, Terimakasih atas suguhannya.”
“Hati-hati
– Bawalah adikmu kemari di lain waktu Nak..” Teriak Elok.
***
“Mega!
Mau kemana kamu, Nak” Panggilan seru dari seberang jalan. Ternyata dari Elok.
“Menjemput
Tegar. Ia sedang ikut di acara kumpul penyanyi jalanan di gedung ISI Jogja”
Jawab Mega bangga.
“Hebat.
Biarkan Ibu ikut menjemput adikmu itu, Nak.”
***
“Biarkan
mereka berkata, Tubuhku bukanlah apa...
Biarlah kan kuhisap debu, Kurindu selalu Ibu...Ku takkan tahu dimana, Namun
kutahu siapa...Ku tak tahu bagaimana, Namun kutahu mengapa... Mungkin memang
aku bukanlah purnama, Tapi ijinkanku membanggakan mama... Aku slalu rindu
bagaimana rasanya, di dekapmu.. di pelukmu... Ibu...” Tegar bernyanyi di panggung kecil dengan sepenuh hati.
“Dialah adik saya, selalu membanggakan ibunya yang entah
siapa, mengapa, dan bagaimana bisa meninggalkannya.” Gumam Mega.
“Dia
bukan adik kandung saya. Saya menemukannya waktu fajar di samping tumpukan ban
bekas di terminal. Anak yang tampan, dan berbakat. Tak salah juga saya
menamainya Tegar, se-tegar jiwanya.”
Dengan
tiba-tiba Elok menitikkan air mata dan dipergoki oleh Mega. Selesai bernyanyi,
Tegar langsung berlari kearah Mega yang telah ia ketahui keberadaannya semenjak
tadi.
“Seandainya
Ibuku melihat aku bernyanyi kak.. Beliau pasti bangga.” Kata Tegar di dekap
pelukan Mega.
Mata
yang indah, kulit bersih dengan rambut hitam ikal, tangan yang tidak sempurna.
Siapa yang kini sedang dilihat Elok telah mengingatkannya pada seseorang. “Anakku???!!”
Seru Elok tanpa sadar.
Elok
semakin mendekati Tegar dan menatap mata polosnya. Hatinya berdegub kuat, peluh
menetes deras, bibirnya bergetar dan matanya mulai berembun.
“Bukankah
Ibu adalah Dewi Fortuna yang dicari Kak Mega beberapa hari yang lalu?
Yang memberikanku uang sepuluh ribu saat itu?” Masih Tegar Polos.
“Nama
ibu Dewi Elok”. Seketika Elok terjun menekuk kakinya agar setara dengan Tegar.
“Kau memanglah Purnama-ku. Setelah sekian lama Ibu korbankan segalanya untuk
mencarimu, Nak. Ibu bangun beberapa panti di setiap daerah, namun rasa rindu
Ibu padamu tetap tak bisa tergantikan. Ibu tak percaya kita bertemu di sini.
Ibu tidak meninggalkanmu dari dulu, percayalah.”
Tatapan
mata ketiga-nya saling lurus tak percaya akan kronologi yang ditakdirkan Tuhan
ini. Mata tegar hingga bergetar karena tersapu aliran angin yang berjalan.
Bocah polos itu menitikkan air matanya yang suci.
“Benarkah
engkau Ibu??” Tegar masih tak percaya.
Elok
mengangguk dengan tangannya bersiap meraih tubuh anaknya itu. “Iya Nak,engkau
lah Purnama yang lahir 9 tahun lalu dari rahim Ibu.
“Rasa
banggaku tidak pernah pudar terlahir di dunia ini. Tegar yakin pada kasih
sayang seorang ibu. Ibu adalah segalanya meski selama ini dalam bayangan. Kini
betapa Tegar lebih membanggakan Ibuku yang ternyata secantik ini. Ibu ...
Panggil aku Tegar Purnama.” Tangis mereka bertiga saling pecah dan saling tak
percaya, lalu mereka berpadu pada 1 bucket pelukan mesra penuh rindu.
Created By : Fitria Rizky Sutrisna