Salam, Selamat Datang Calon Penghuni Surga

Pages

Minggu, 30 Maret 2014

Cerpen Terkasih - Terbuang dan Tersayang




“Kamu itu tampan sekali, Gar! Pasti Ibumu cantik, sayangnya tak memiliki peri kemanusiaan karena telah membuangmu!” Olok Kak Mega.
Cercaan dan hujatan kerap kali kutelan mentah-metah. Banyak yang tak tega melihat binar indah mataku yang terbuang, namun semua yang kuterima adalah bentuk ketidaktegaan yang pahit.
“Ibuku tetap yang terbaik mau melahirkan aku di dunia ini. Mungkin Ibu hanya malu mendapati anaknya yang tak memiliki raga yang utuh. Aku sungguh mengerti keadaanku.” Belaku di setiap hujatan yang datang.
“Ah…. Kapan kamu mendapatkan kasih sayang? Bahkan aku tak yakin apakah kamu dilahirkan dengan belaian atau siksaan. Nasib kita sama Gar. Terbuang dari kasih sayang. Huu... Memadu kasih tanpa tanggung jawab.”
Usia Kak Mega lebih dewasa 7 tahun dariku, terkadang aku tak mampu menelaah lontarannya.
Namaku Tegar. Nama yang diciptakan sendiri oleh Kak Mega. Kini usiaku mencapai 7 th, katanya. Masa kecil yang kuingat adalah saat aku dibawa dalam gerobak sampah di siang malamku oleh seseorang yang kupanggil Abah. Tutur Kak Mega, Abah adalah tukang sampah yang baik budi. Abah juga lah yang merawat Kak Mega hingga usianya mencapai 10 tahun.
Sejak Abah meninggal 3 tahun yang lalu, Aku hidup nomaden bersama Kak Mega di sudut-sudut gelap kota Jogjakarta. Mengendus aroma oli yang berceceran di bawah kolong jembatan, bersandar pada pintu besi pertokoan, meringkuk di bawah papan-papan reklame, menghabiskan waktu dengan nyanyian-nyanyian merdu hasil karya pikiran, pita suara, lidah, dan hatiku yang berpadu dengan selaras. Kemudian menunggu recehan dijatuhkan di topi lusuh temuan Kak Mega dari tempat sampah.
Saat pagi menyapa, tak lupa kami berjanji di sudut mana lagi kami akan duduk meluruskan kaki untuk rehat, sebelum berpencar menelisik rupiah.
Kak Mega berenang-renang di tumpukan sampah- dipisahkan, dan di-kilo-kan kembali untuk ditukar kertas bertanda tangan Gubernur Bank Indonesia. Sedangkan aku harus berjalan di sepanjang kota, berupaya memikat pengendara yang berhenti karena lampu merah dengan suara lumayanku.
Senja gerimis, tempat rehat kali ini cukup layak. Halte baru yang dibangun oleh pemkot seminggu lalu, yang belum kami dapati aroma pesing di pojok-pojoknya.
“Gar, kurasa aku tak dapat membelikanmu makan malam nanti. Dewi Fortuna tak berpihak padaku. Bagaimana denganmu?”
Dewi Fortuna? Tadi aku bertemu dengan wanita cantik di depan Panti Asuhan Ar-Rahmah, dengan kalung menggelantung bertuliskan “DEWI”. Ia memberiku uang sepuluh ribu. Namun ia tak sempat melihatku. Mungkin dia yang Kakak maksud. Wanita secantik itu, jelas saja tidak ada di tempat pembuangan sampah.” Balasku polos.
“Tegar..Tegar.. Dasar bocah polos!” Ledek Kak Mega sambil tertawa kecil dan men-jegug kepalaku.
***
 Semarang, 8 Tahun silam
 “Dasar bodoh! Kita masih sekolah. Kau bisa saja keluar dari sekolah semaumu. Tapi aku?? Bagaimana dengan kehormatan ayahku jika aku harus keluar sekolah karena kehamilanmu!? Aborsi bayi itu, Lok!” Sentak Bima dengan beringas.
 “Aku takkan melakukannya mas. Kandunganku sudah masuk 4 bulan. Aku bisa mati jika kau memaksanya.”
 “Kau sungguh tak mau berpikir bagaimana perasaan menjadi seorang ibu. Aku mencintaimu,sungguh. Tapi mengapa kau sepicik itu?” Rintih Elok untuk kesekian kalinya, di setiap perdebatan yang binal.
Kini mentari enggan menyapa. Mukanya masam meski masih tak kuasa tuk tidak menghangatkan calon ibu yang merintih itu. Jurnal-jurnal mimpi yang diproses selama 17 tahun hidupnya seakan terhapus dengan berbagai nuansa kenestapaan.
Ia memforsir dirinya tuk menjadi dewasa. Memejamkan mata sejenak dan bergumam “Aku Ibumu nak. Aku mencintaimu, dan tak akan tinggalkanmu”.
Ia relakan hidup di bawah nyala dian dan dekap anyaman bambu reot. Ayah ibunya telah lama meninggal. Ia merasa hanya mendapat kasih sayang dari kekasihnya itu. Namun kini, entahlah. Bima seperti kuda, liar dan lupa pada pamongnya. Sesekali menengok untuk membuat keributan yang tak jarang juga menyiksa kandungan Elok. Desis berat dan mata pucat Elok tak dihiraukan lagi olehnya. Setelah itu ia suapi Elok dengan bubur pisang. Elok pun tak mengerti mengapa sikap kekasihnya seangker itu.
***
Gelegar guntur parau yang menemani perang tumpah darah Elok. Dibantu uluran tangan tetangganya yang hanya dengan dalih ketidak-tegaan melihat kondisi perempuan kurus sebatang kara itu. Ia pasrah akan hidup dan mati di jam-jam sekaratnya.
“Manisnya engkau, anakku. Oh, apa yang terjadi dengan tanganmu?? Cacat tubuhmu telah menyempurnakan hidup ibu, Nak.”
Purnama. Nama yang sengaja disahkan berdasar waktu ia bernapas pertama kali di dunia. Matanya se-elok mata ibunya. Rambutnya hitam ikal persis seperti Bapaknya, Bima.
“Berikan bayi itu. Aku akan merawatnya, sayang.” Lagi, Bima datang di siang bolong, dengan langkah sempoyongan. Mata merah persis gorila usai gulat. Entah apalagi yang diminumnya kali ini.
“Lebih baik kau pergi dariku sekarang, Bim! Lanjutkan saja sekolahmu. Tak usah kau risaukan aku. Kami akan sedia menerimamu jika kau tlah berubah. Kau butuh cermin? Lihatlah dirimu yang tak ada bedanya dengan pasien RSJ. Seharusnya kau malu membanggakan orang tuamu, namun engkau sendiri?!” Sentak Elok berani.
“Hey cantik. Anak ini hanya mainan, yang dengan mudahnya kulempar, kutarik, kudorong, dan kubuang selagi aku bosan. Dan kini aku bosan melihatmu, sama saat aku melihat anak ini, yang begitu mirip denganmu.”  Kata Bima sambil mengangkat kasar Purnama, hingga membuat tangis bayi itu pecah.
“Berikan bayi itu, Bim” Rebut Elok. – “Ambillah air minum di dapur, agar kau merasa lebih baik, lalu enyahlah secepatnya.”
***
1 bulan kemudian
                 Di suatu sore yang belum pekat. Dalam kelengahan Elok dalam menjaga permata hatinya. Saat itu ia sedang mandi, setelah menidurkan Purnama yang telah dalam keadaan harum.
                 Sepucuk surat ditemukan Elok di meja kayu depan kamarnya.
                 Untukmu, Elok.
                 Maaf. Aku melakukan ini semua. Aku tak ingin memulai pertengkaran lagi. Percuma dan hanya menghabiskan energiku.
                 Perbuatan kita mulai terendus.Orang tuaku sempat kaget mendengar berita kita. Entah siapa yang membocorkan rahasia ini. Aku mengelak berita itu, dan terpaksa harus membawa anak ini untuk berpisah denganmu. Menghilangkan jejak jika nanti ada yang menyelidiki di rumahmu, aku akan selamat karena tak ada bukti apapun dari kita.
                  Aku pergi ke luar negeri. Hidup bebas dan sedikit menutupi rasa malu. Kau tak usah memikirkan anakmu lagi! Aku akan kembali padamu, dan lupakan saja anak yang tak kuharapkan itu.
Tertanda,
Bima.
                 “PURNAMA.....!!!!!” Jerit Elok melengking diiringi tangis hebat.
***
9 Tahun Kemudian
                 “Akhirnya aku berhasil membangun panti asuhan ini, mungkin panti asuhan terakhir yang kubangun, lalu aku akan hidup menetap di kota ini.Meski aku harus menengok puluhan anakku yang tersebar di berbagai daerah setiap minggunya.”
                 “ Dimana lagi aku harus mencarinya? Apakah harus ku kumpulkan setiap anak cacat di berbagai penjuru daerah, lalu mengetes DNA mereka?.  Mungkinkah dia telah membawa anakku ke luar negeri?. Aku rindu padanya San, Aku tak ingin menghentikan pencarianku, tapi, apa daya aku berjuang sendiri, menguras energi, waktu, juga uang.” Curhat Elok panjang pada Santi, tetangga sebelah panti barunya itu, yang dulu merupakan sahabat dekat Elok di Semarang.
                 “Tak ada tanda apapun yang ditinggalkan Bima. Sahabat lama Bima yang kini menjadi rekan bisnisku-pun tak tahu akan tragedi 9 tahun silam itu. Bahkan juga tidak tahu keberadaan Bima kini. Kabar terakhir yang didengarnya, perusahaan Ayahnya kolaps, lalu keluarganya hancur.” Jelas Santi.
                 “Melihat anak-anak dalam  keadaan cacat, hidup yatim serta miskin, sangat membuat miris. Meski kini mereka merasa senang hidup bersamaku, berkumpul, makan enak, ada tempat berteduh. Lalu bagaimana dengan anakku sendiri? Tak jelas apakah ia masih hidup. Jika memang benar Bima membuangnya, dan kini masih hidup, aku tak yakin ada orang baik yang mau mengangkat ia. Ya Tuhan... ”
***
                 “Assalamualaikum, Rosok Pak, Buk?”
                 “Waalaikumsalam” Jawab salah satu anak panti yang bernama Rika seraya keluar dari balik pintu ruang seni panti.
                 “Adek, ada rosokan yang ingin dijual?”
                 Sebelum sempat dijawab, Elok ikut keluar dan menyahut, “Ada Nak. Silakan masuk dulu.”
                 “Siapa nama kamu, Nak? Dimana kamu tinggal?” Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan Elok saat bertemu dengan anak jalanan.
                 Setelah lama berbincang, Elok dan anak yang bernama Mega itu semakin akrab. Baru disadari oleh Mega bahwa wanita itulah yang dimaksud Tegar beberapa hari lalu. Wanita cantik dengan kalung bertuliskan “DEWI”.
                 Mega sangat kagum padanya. Wanita cantik,terlihat kaya,namun berhati lembut, yang bersedia menghidupi anak-anak yatim yang cacat.
                 “Tegar bisa hidup disini” Bisik Mega halus.
                 “Siapakah Tegar itu, Nak?” Tanya Elok.
                 “Dia adikku, Bu Elok. Saya berjanji bertemu di terminal siang ini. Saya harus segera menemuinya. Saya pamit dulu Bu, Terimakasih atas suguhannya.”
                 “Hati-hati – Bawalah adikmu kemari di lain waktu Nak..” Teriak Elok.
***
                 “Mega! Mau kemana kamu, Nak” Panggilan seru dari seberang jalan. Ternyata dari Elok.
                 “Menjemput Tegar. Ia sedang ikut di acara kumpul penyanyi jalanan di gedung ISI Jogja” Jawab Mega bangga.
                 “Hebat. Biarkan Ibu ikut menjemput adikmu itu, Nak.”
***
                 “Biarkan mereka berkata, Tubuhku bukanlah apa...
Biarlah kan kuhisap debu, Kurindu selalu Ibu...Ku takkan tahu dimana, Namun kutahu siapa...Ku tak tahu bagaimana, Namun kutahu mengapa... Mungkin memang aku bukanlah purnama, Tapi ijinkanku membanggakan mama... Aku slalu rindu bagaimana rasanya, di dekapmu.. di pelukmu... Ibu...”
Tegar bernyanyi di panggung kecil dengan sepenuh hati.
                 “Dialah adik saya, selalu membanggakan ibunya yang entah siapa, mengapa, dan bagaimana bisa meninggalkannya.” Gumam Mega.
                 “Dia bukan adik kandung saya. Saya menemukannya waktu fajar di samping tumpukan ban bekas di terminal. Anak yang tampan, dan berbakat. Tak salah juga saya menamainya Tegar, se-tegar jiwanya.”
                 Dengan tiba-tiba Elok menitikkan air mata dan dipergoki oleh Mega. Selesai bernyanyi, Tegar langsung berlari kearah Mega yang telah ia ketahui keberadaannya semenjak tadi.
                 “Seandainya Ibuku melihat aku bernyanyi kak.. Beliau pasti bangga.” Kata Tegar di dekap pelukan Mega.
                 Mata yang indah, kulit bersih dengan rambut hitam ikal, tangan yang tidak sempurna. Siapa yang kini sedang dilihat Elok telah mengingatkannya pada seseorang. “Anakku???!!” Seru Elok tanpa sadar.
                 Elok semakin mendekati Tegar dan menatap mata polosnya. Hatinya berdegub kuat, peluh menetes deras, bibirnya bergetar dan matanya mulai berembun.
                 “Bukankah Ibu adalah Dewi Fortuna yang dicari Kak Mega beberapa hari yang lalu? Yang memberikanku uang sepuluh ribu saat itu?” Masih Tegar Polos.
                 “Nama ibu Dewi Elok”. Seketika Elok terjun menekuk kakinya agar setara dengan Tegar. “Kau memanglah Purnama-ku. Setelah sekian lama Ibu korbankan segalanya untuk mencarimu, Nak. Ibu bangun beberapa panti di setiap daerah, namun rasa rindu Ibu padamu tetap tak bisa tergantikan. Ibu tak percaya kita bertemu di sini. Ibu tidak meninggalkanmu dari dulu, percayalah.”
                 Tatapan mata ketiga-nya saling lurus tak percaya akan kronologi yang ditakdirkan Tuhan ini. Mata tegar hingga bergetar karena tersapu aliran angin yang berjalan. Bocah polos itu menitikkan air matanya yang suci.
                 “Benarkah engkau Ibu??” Tegar masih tak percaya.
                 Elok mengangguk dengan tangannya bersiap meraih tubuh anaknya itu. “Iya Nak,engkau lah Purnama yang lahir 9 tahun lalu dari rahim Ibu.
                 “Rasa banggaku tidak pernah pudar terlahir di dunia ini. Tegar yakin pada kasih sayang seorang ibu. Ibu adalah segalanya meski selama ini dalam bayangan. Kini betapa Tegar lebih membanggakan Ibuku yang ternyata secantik ini. Ibu ... Panggil aku Tegar Purnama.” Tangis mereka bertiga saling pecah dan saling tak percaya, lalu mereka berpadu pada 1 bucket pelukan mesra penuh rindu.

Created By : Fitria Rizky Sutrisna

0 komentar:

Posting Komentar