_11 Maret 1991_
Tugas
yang tega menarik ulur waktu. Datang dan pergi sepanjang waktuku. Kini aku tlah
memasuki semester 7. Semakin terasa berat tugas yang harus ku tempuh.
Berasal dari sebuah desa di kabupaten kecil, aku merantau seorang diri
demi menempuh belajarku dan mengejar gelar sarjana yang aku idamkan.
Tak
mampu aku berkencan dengan malam yang penuh gemerlap bintang. Setiap malam-malam ku biarkan bermain sendiri
karena aku tlah disibukkan dengan tugas-tugas akhir.
Esok
ada ujian. Kegiatan malam ini adalah menjadi layaknya seorang dalang yang melek semalam suntuk untuk membawakan
lakon pewayangan. Namun lakon yang kubawakan hari ini adalah tentang
Administrasi Negara.
Suasana
kota Malang yang menyemburkan hawa dingin, membuatku nyaman dalam dekapan
selimut kesayangan.
“(tok..tok..tok) Dik Anik.. Sudah tidur??”
Tiap kali tetangga kamar sebelah mengetok dinding kamarku yang terbuat dari
triplek dan menanyakan keadaanku. Namanya Mbak Susi. Ia adalah mahasiswa
kedokteran semester 5 se-Universitas denganku.
“Belum
mbak, masih belum selesai” Teriakku dari dalam kamar.
Pertanyaan
itu akan kami ulang setiap 15 menit sekali. Jika ada salah satu yang tak kuat
melanjutkan belajar, pasti akan berpamitan terlebih dahulu sebelum beranjak
tidur.
Sungguh
hari-hari unik yang membuat letih. Tak ada bedanya antara jurusan FIA dengan
Kedokteran jika dalam semester akhir seperti ini. Semua mampu membuat masalah
kerontokan rambut semi permanent.
***
_26 Mei 1991_
Bau
asap sisa pembakaran solar merajam rongga dada. Bau keringat yang bercampur
persis bau amonia. Berada di dalam bus terasa berada dalam ruang penyekapan
yang dicampuri gas bius yang mungkin mampu membuat pingsan penumpang hanya
dalam beberapa jam kedepan.
Sisi yang paling tidak menguntungkan
menjadi sosok yang berpostur mungil yaitu akan kalah jika berdesakan di
angkutan umum yang jahat ini. Orang-orang tak mau peduli sebelum mampu
meletakkan pantatnya di bangku bus. Andaikan ada yang mau menoleh ke bawah
sedikit saja, pasti akan kukatakan “Maaf, saya bukan barang bawaan yang
pantas ditendang-tendang” sambil nyengir semanis-manis nya.
Nasib mahasiswi semester akhir yang
telah disibukkan dengan tugas dan persiapan menyusun skripsi. Demi menebus
rindu pada orang tua, aku rela diinjak-injak dan tak diorang-kan, padahal aku
masih memakai jas almamater tercinta, Universitas Brawijaya.
2
jam berlalu. Otot kaki mulai terasa kaku. Keringat berjatuhan sebesar butiran
jagung. “Jika harus berdiri selama 3 jam kedepan, sambil menggendong ransel
seberat ini,kuyakin tinggi badanku semakin berkurang saja” Tak hentinya batin
ini menggerutu.
“Mbak,
silakan duduk. Meski sempit, setidaknya bisa mengurangi rasa capai mbak.”
Kalimat halus yang terlontar dari seorang abdi negara. Berseragam lengkap
dengan gantungan lencana di dadanya. Badge di sisi lengannya menunjukkan ia
seorang TNI AD.
Dengan
segera kubalas tawarannya yang telah kutunggu-tunggu sejak tadi.
“Terimakasih
Pak.” Senyum sopan kuarahkan padanya.
“Mbak
kuliah? Jurusan apa?”
“Jurusan
Administrasi Negara Pak.” Jawabku canggung dan tersipu.
“Wah,
hebat. Enak ya bisa kuliah. Mbak pasti orang pintar bisa kuliah di Universitas
Negeri. Tidak seperti saya yang tidak bisa melanjutkan kuliah”
Tuturnya
sopan dan lembut. Membuatku tak segan menjawab obrolan darinya.
“Ah,
biasa saja Pak. Meski tidak kuliah, tapi kan anda sudah menjadi ABRI. Tentu
terjamin masa depannya.”
“Iya
sih mbak. Saya masuk TNI juga karena
otak saya yang kurang mampu melanjutkan kuliah, sehingga ayah membawa saya
dalam bidang ini. Panggil saja saya Mas Dwi. Namanya siapa mbak? Turun di mana
nanti?“
“Nama
saya Anik Wahyudiati. Biasa
dipanggil Anik. Turun di Tulungagung mas.”
Obrolan
kami hangat dan sangat sopan. Meski di tempat yang tidak menyenangkan, namun
perkenalanku dengannya mampu menghibur perjalanan
pulang kali ini.
Saat
bus akan memasuki kota Blitar dan memaksanya bersiap meninggalkan jejaknya di
bus, ia berkata bahwa ingin kembali ke Malang dan berangkat bersamaku dari
terminal Tulungagung. Mungkin karena kesopanannya dan melihat ia benar-benar seorang
Abdi Negara, membuatku tak meninggalkan rasa curiga padanya. Justru perasaanku
senang dan aman jika berteman dengan seorang tentara. Hingga akupun
meng-iya-kan jua tawarannya.
Sisa
perjalanan menuju kampung halaman kulalui seorang diri. Yang kubayangkan adalah
senyum hangat dan penuh rindu orang tua, juga sisa senyum sopan dari sosok
tentara itu yang masih melekat tipis di ingatan.
***
Kehangatan
suasana rumah yang penuh akan rindu. Aku pulang membawa berjubel pengalaman.
Detik
jarum jam berlalu manis. Tak terasa waktu akan merenggut kebersamaanku dengan
keluarga tercinta yang telah kuhabiskan selama satu pekan. Melihat tugasku yang
antre seperti memanggil-manggil namaku untuk segera dirampungkan dan kembali ke
kampus.
Di
sisi lain pikiran kikuk terngiang. Aku ingin menyudahi pakansiku karena ingin
bertemu dengannya lagi. Bersama senyum sopan serta perisai kelembutan di raut
wajahnya.
“Sampun siap-siap, nduk? Jangan lupa bawa beras yang cukup. Ibu pikir kamu akan lama
tidak pulang karena sibuk dengan skripsimu. ” Pesan Ibuku penuh perhatian .
“Sampun buk. Ibuk baik-baik ya di rumah.
Doakan Anik selalu.” Jawabku dengan raut memelas nan manja memohon restu Ibuku
tercinta.
“Nduk,Apa kamu tidak punya teman yang
sama-sama berangkat ke Malang?”
Sebuah
pertanyaan yang terlontar itu sempat membuatku terkejut. Kurasa ada ikatan
batin antara seorang ibu dan anaknya yang melekat kuat.
Aku
belum cukup mental untuk bercerita. Pertemuan itu adalah yang pertama. Aku
takut jika Ibu malah mengkhawatirkanku.
“Emm..
Ada buk, tapi bukan teman kuliah Anik”
“Lho..
Lantas siapa?” Wajah Ibu manggambarkan raut penasaran.
“Anik
bertemu dia di bus. Seorang TNI muda yang baik budinya.”
“Oh,
rumahnya mana? Namanya siapa? Jadi, dia dinas di Malang? Pertanyaan beruntun
dan masih dengan raut penasaran namun terselip senyum tipis membuatku sedikit
tersipu.
“Namanya
Dwi. Rumahnya Blitar buk. Kebetulan juga sedang libur dan ada saudara di
Tulungagung. Ia kembali ke Malang besok pagi. Jadi dia mengajakku berangkat bersama
dari terminal Tulungagung.”
Raut
penasaran mulai pudar dari wajah Ibu. Senyum hangatnya mulai merekah. Memang
selama ini belum pernah aku memiliki teman dekat seorang pria, dan mengingat
aku telah cukup umur.
Di
sorotan rembulan kupanjatkan doa untuk kepergianku esok pagi. Salam dari Ibuku
jua harus kusampaikan untuk Mas Dwi. Diiringi gemuruh rindu akan pertemuan yang
semoga masih saja sehangat pancaran mentari pagi.
***
“Selamat bekerja duhai
mentari. Hangatkan senyumku yang akan kukirim padanya dan jua yang akan
kutinggalkan untuk keluarga terkasih. Jangan kau redupkan sinarmu sebelum aku mampu bersinar
secerah wajahmu hari ini.” Sepenggal doa yang
kubisikkan dari dalam hati. Mengiringi
suap demi suap sarapan yang terhidang di meja makan. Air mata menetes lembut
tanda beratku meninggalkan keluarga.
“Pak,
Buk. Anik berangkat. Doakan Anik lancar di semester akhir ini. Doakan Anik
lulus dengan nilai yang memuaskan”
“Iya
nduk. Hati-hati di jalan ya.
Pandai-pandailah membagi waktu. Memohonlah tanpa henti pada Gusti Allah demi
kelancaranmu. Bapak Ibu akan terus berdoa dari sini. Bapak yakin kamu mampu
mengemban amanah dan membanggakan keluarga “ Petuah yang dilontarkan Bapak sungguh
membuat hati bergetar. Kecup yang kutempelkan pada tangan kedua orangtuku
membuat haru pecah.
Di
luar rumah, adik telah bersiap mengantarku ke terminal. Ransel perbekalan yang
kembali penuh kugendong mesra. Lambaian tangan menari tanda salam perpisahan.
“Selamat tinggal
kembali gubuk permaiku Berikan kedamaian mesra untuk malaikat-malaikatku”
***
Eraman
suara bus terdengar keras. Kepul asap
dan hiruk pikuk penumpang tak terhindarkan. Telah kulemparkan pandangan di tiap
sudut terminal namun tak kudapati sosok yang kutunggu. Jarum jam berlari, dan
jarum pendek rehat di angka 7.
“Dik
Anik” Suara yang terdengar sayup dari arah belakang. Dengan segera diriku
memutar badan untuk mencari sumber suara itu.
Postur
tegap dengan seragam lengkapnya telah memecah penantianku.
“Mas
Dwi. Aku kira mas tidak akan datang. Waktu semakin siang, aku takut tidak
kebagian tempat duduk lagi di bus.”
“Maafkan
aku Dik Anik, tadi komandan menelpon mas dan ada utusan mendadak.” Wajahnya
terlihat menyesal karena telah membuatku menunggu lama.
“Oh,
tak apa mas. Jadi berangkat ke Malang sekarang kan?”
“Iya
dik, mari kita cari bus yang sedikit longgar”
Sepanjang
jalanku hangat dengan obrolan manis. Perjalanan paling tak membuat bosan selama
hidupku. Jiwaku terasa ada yang mendekap penuh wibawa.
Setelah
4 jam berlalu. Kota tujuan telah di depan mata. Kami turun di terminal
Arjosari, kota Malang. Perjalanan menuju kost harus kutempuh dengan angkutan
kota. Mas Dwi masih setia menemani sisa perjalananku. Ia sengaja ikut agar tau
dimana aku tinggal.
Sesampai
di depan kost, harus kuterima masa manisku bersama Mas Dwi harus berakhir .
“Kuharap
bisa bertemu denganmu lagi Dik Anik, tak lama dari sekarang. Aku akan segera
berkirim surat untukmu ” Kalimat perpisahan yang begitu manis terucap darinya.
“Kuharap
juga demikian mas. Terus terang aku senang bisa kenal dengan mas. Selamat
berjuang mas. Aku akan sabar menunggu kabar dari Mas Dwi.” Jawabku seraya berat
melepas kepergiannya.
***
“Beberapa
bulan lalu aku berangan tentang kehadiraan seseorang yang aku inginkan. Mengapa
hingga kini pikiranku masih melayang penuh kesejukan? Mengapa senyumnya begitu
mampu terekam sempurna dalam angan? Benarkah kali ini aku telah menemukannya?” Tanyaku
dengan diri sendiri dalam lamunan kecil di sela belajar.
“(Tok..Tok..)
Mbak Anik, Surat kecil untukmu! Wah
tumben benar Mbak dapat surat.” Ledek Susi sambil menyerahkan surat yang
digenggamnya. Aku hanya mampu tersipu mendengar ledekannya.
Kuamati
amplop putih nan wangi yang terdapat lengkungan pita biru itu, namun tak
kudapati tulisan tentang siapa pengirim surat tersebut. Hatiku berdebar, tak
ada yang terbayang dalam pikiran selain nama Mas Dwi.
Kubuka
perlahan sambil sesekali mencium aroma wangi yang menyelimuti surat tersebut.
Tak salah lagi, sebuah surat yang menanyakan kabar dan ajakan untuk bertemu,
tertanda salam rindu dari Mas Dwi.
Perasaan
yang sungguh jarang kurasa. Jiwaku terbang dalam ayunan sajak kalimat dalam
suratnya. Senyumku merekah sewangi suratnya.
“Ya
Allah perasaan ini sama seperti binar indah di raut bintang yang sedang
berkedip mesra. Ya Allah benarkah aku jatuh cinta? Jika benar, Ridhailah apa
yang aku rasakan ini.” Lantunan doa
kupanjatkan di sujudku. Semoga perasaan bahagia ini berjalan indah.
***
_15 Juni 1991_
Minggu
pagi yang cerah bersama sejuta dentum jantung yang tak wajar. Di taman kota,
janji Mas Dwi ingin bertemu denganku seperti yang telah dituliskan dalam surat
kecilnya untukku pekan lalu.
Di
tengah taman, disamping air mancur telah kudapati ia disana. Jantungku berdebar
hebat. Langkahku semakin mendekati sosoknya. Semakin jelas kupandang air
mukanya, namun ia belum sadar akan kehadiranku.
“Mas
Dwi” Sapaku lembut. Ia sedikit terperanjat mendengar suaraku yang tiba-tiba di
sela gemericik suara air mancur.
“Oh
dik, bagaimana aku tak sadar akan
kehadiramu. Mungkin aku terlalu sibuk mendalami indahnya taman bunga ini.”
Tuturnya seraya menjabat tanganku dengan tawa kecil di wajahnya.
“Hehe,
mas apa sedang libur kok sempat mengajakku bertemu disini?” Tanyaku dengan
perlahan duduk di sampingnya.
“Iya
dik. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” kalimatnya terputus, membuatku
penasaran akan apa maksud darinya. Tiba-tiba keringat dingin mengucur. Detak
jantung semakin mendobrak dadaku.
Belum
sempat aku menanyakan maksud darinya, ia melanjutkan perkataannya lagi.
“Adik
seseorang yang ramah, sopan, namun tetap asik. Entahlah, meski kita masih
sedikit intensitas bertemu, namun setiap pertemuan kita selalu meninggalkanku kesan
kagum. Jujur, aku mengajakmu bertemu, karena rindu dengan obrolan kecil kita.
Sebelumnya aku memang belum pernah menanyakan tentang pribadimu, jadi misalkan
adik tak berkenan dengan perkataanku ini, tolong maafkan aku.”
Perkataannya
terjeda lagi. Sorot matanya lurus menangkap sorot mataku. Keringat masih deras
mengucur, begitu pula dirinya. Aku sadar akan kegugupannya saat berkata tadi,
namun ia cukup kuat menatapku untuk membuktikan kesungguhannya.
“Maafkan
aku Dik. Aku menyayangimu. Adik sangat berbeda, dan aku menginginkanmu untuk
menjadi kekasihku”
Begitu
terperanjat hatiku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Semua yang ada di
sekitarku seperti berhenti beraktifitas . Aku tak mampu mendengarkan suara
gemercik air mancur maupun suara transportasi yang berlalu lalang. Mataku
melongo seketika. Bunga-bunga bermekaran di alam bawah sadarku. Beberapa detik
pandangan kosong dan tak percaya. Hingga kudengar suara lembut yang menyusul
lamunanku.
“Dik..”
“Iya
mas..” Jawabku gugup terbata-bata.
“Kenapa
adik melamun dan tak membalas ungkapan perasaanku??” Tanyanya sembari melempar
senyum padaku kembali.
“Jujur.
Aku masih sendiri mas. Namun adakah waktu yang demikian singkatnya mampu
menghipnotis hingga kita dipertemukan dengan perasaan yang sama?” Jawabku
tersipu sesekali memandang kerlingnya.
“Terimakasihku
pada Tuhan telah mempertemukan kita dik. Aku ingin selalu bersamamu Dik Anik”
Tangannya
perlahan mendekap tanganku. Masih di bawah gemericik air mancur dan sorotan
mentari yang mulai berjalan kecil menuju pusar langit, kami berjalan di
sekeliling bunga nan mekar mewangi. Baunya seharum perasaan yang kini berkutat
di benakku.
***
Minggu
demi minggu berlalu. Masih menempel setiap memory yang terlukis bersama Mas
Dwi. Mengobrol bersama, bercanda bersama, berjalan-jalan di sorotan lampu alam entah dalam naungan dewi malam
ataupun raja siang. Banyak hal yang kami lalui yang membuat hatiku bersorak
bahagia.
Tugas
tak bosan-bosan meramaikan hari-hariku. Lari-larian menemui dosen yang begitu
memperbudak menjadi makanan sehari-hariku.
Cukup
jauh jarak membatasi kami dalam menjalin sebuah hubungan tali kasih. Kesibukan
masing-masing juga memaksa kami untuk
jarang bertemu.
Di
sebuah malam minggu yang hangat. Kali ini nihil akan tugas. Bersama teman-teman
kost menghabiskan malam dengan sendau gurau di ruang keluarga. Di malam minggu
seperti ini hanya ada 2 tamu istimewa yang kami tunggu. Jika bukan kekasih yang
ingin mengajak kencan, ya tukang pos sebagai wakil dari kekasih yang tak
sanggup datang secara langsung.
Kali
ini, kurasa aku menunggu pilihan kedua. Pekan lalu, Mas Dwi sudah berpamitan
lewat surat yang dilayangkannya bahwa pekan ini tak bisa berkunjung karena
tugas militer yang mendesak.
“Dik
Anik… Surat untukmu.!!” Teriak Mbak Nunik dari serambi rumah.
Dengan
segera aku menjemput suratku. Pak Pos memang menjadi tamu kehormatan setiap
anak kost. Kedatangannya disambut mesra nan hangat layaknya menyambut
kekasihnya sendiri, terlebih di kost putri.
Surat
kecil bernada sarat akan rindu darinya. Membaur bersama dengan gejolak rinduku
padanya jua. Sari kata yang tergores meresap lembut dalam jiwa yang sendu sepi.
Ia bekerja untuk Tanah Air. Sangat bangga kurasa memiliki kekasih sepertinya.
Desah angin Kota Malang semoga larut dan menyapa dirinya di sana dengan
mengalirkan rindu yang maha agung.
“Aku
mencintaimu, Mas” Bisikku sembari erat memeluk selembar kertas penuh makna tersebut.
***
19 Mei 1992
Setahun
sudah hubunganku mengalun indah bersama Mas Dwi. Banyak intrik yang tergambar
di dalamnya.
Hari
ini Mas Dwi mengajakku berjalan di sebuah Mall di kota Malang. Ajakannya
bisa dikatakan tiba-tiba. Entah apa yang
membuat hatiku tak berkenan bertemu dengannya, namun aku tak mampu menolak.
“Sebelumnya
mas selalu mengabariku jika ingin mengajakku pergi. Dan tak biasanya mas
mengajakku di hari aktif seperti ini. Untung saja aku sedang tak ada jadwal
kuliah. Mas juga sedang tak ada dinas?” Pertanyaanku heran atas pertemuan yang
kesekian kali ini.
Perasaanku
mengatakan ada ekspresi gundah yang sedang disembunyikan dalam hati Mas Dwi. Di
restoran tempat biasa kami berkencan, baru kali ini aku merasakan perasaan yang
masam dan aneh.
“Mas..”
Panggilku sedikit keras karena Mas Dwi tak menjawab pertanyaanku dan lebih
memilih meluruskan pandangannya pada sebuah gelas kaca yang membisu.
Dengan
perasaan terkejut ia lantas memandang mataku.
“Aku
bingung Dik..”
“Ada
apa sih mas? Bingung kenapa? Sahutku membentak.
“Pekan
depan ada ujian kenaikan pangkat.”
“Lalu?
Bukankah seharusnya mas menyambutnya dengan antusias?”
“Aku
tidak akan dibolehkan untuk naik pangkat oleh atasanku, dik..”
“Dengan
alasan?” Tanyaku menyelidik
Mas
Dwi tidak menjawabnya dengan segera, dan membiarkan beberapa detk waktu diisi
dengan kekosongan.
“Tidak
akan diperbolehkan jika aku tak menikahi anaknya”
Badai
hati mengguncang dengan tiba-tiba. Antara kaget, sedih, kecewa, bercampur aduk.
Namun aku harus menyembunyikan raut bingungku.
Beberapa menit diriku terhenyak dalam naungan badai ini. Pandangan kami
saling kosong. Mulutku tak mampu berkomentar sebelum nyeri di ulu hati ini
sirna.
“Dik,
kau tak apa? Aku menyayangimu Dik.” Katanya lirih sambil mencoba meraih
jemariku yang membeku.
“Mas,
aku tak punya apa-apa selain kasih tulus. Menjadi ABRI adalah sumur penghidupan
Mas. Aku akan melepamu mas. Berdamailah dengan keputusan atasan mas, pun juga
keputusanku. Mas tak mungkin akan melepas ladang emas yang telah kau impikan
sejak dulu. Jangan bodoh mas.”
Dengan
tak sadar bibir ini mampu terangkat dan tersenyum, namun konsekuensi dari
senyum itu adalah air hangat yang jatuh perlahan membasahi lesung pipiku.
“Yakinkah
adik dengan keputusan yang singkat itu?” Tanyanya kembali.
“Aku
yakin mas. Tak perlu mas mempersulit keadaan ini, karena aku tau mas tak
mungkin melepas jabatan mas. Aku mengerti mas. Jangan mas hambat pengertianku.
Aku menyayangi mas. Hargailah bukti sayangku ini dengan melepasmu segera.”
Berperang
dalam hati terasa lebih berat dan sakit daripada berperang dalam medan pertempuran.
Mungkin itu yang dirasakan Mas Dwi saat beberapa menit terdiam dan terisak. Genggamannya
menutup sebagian raut yang basah akan air mata. Hatiku semakin tersayat
dibuatnya.
“Aku
tak mengira semua ini akan terjadi. Aku berpikir atasanku menyayangiku dengan
cara yang salah, sungguh sangat salah. Tolong maafkan aku, dik”
“Seharusnya
kau bangga mas. Tak ada yang harus disalahkan. Aku mempercayai kasih sayangmu.
Tuhan yang telah memperjalankan semua ini.” Hiburku untuk batinnya yang sendu.
“Mas,
sabarlah. Maafkan dirimu yang sempat menyalahkan takdir Tuhan. Mari kita
merenung, berdoa untuk satu sama lain” Lanjutku.
Perjalanan
menuju kost kulalui dengan perasaan yang tak mampu kuungkap lagi. Air mata tak
henti mengalir. Hatiku menangis tanpa arah hingga ku tak mampu mendengar apa
yang ada di sekitarku karena lamunanku yang demikian panjang.
***
Seminggu
berlalu. Surat demi surat yang dikirim Mas Dwi tak kubalas. Hatiku belum kuasa
membalas salam darinya. Sedikit kecewa dengan diri sendiri yang justru meladeni
ego.
Di
dalam balutan gerimis, sore ini aku ingin menelepon kantor Mas Dwi. Aku tau
hari ini dia sedang tidak ada tugas karena libur Nasional. Niatku untuk meminta
maaf atas sikapku akhir-akhir ini. Mungkin juga sebagai salam perpisahan
dengannya. Hatiku sungguh pilu mengingat kejadian minggu lalu.
Ini
adalah pertama kali aku menggunakan jasa telepon umum. Berkali-kali aku
menghembuskan napas panjang untuk mempersiapkan diri.
“Hallo, Selamat sore. Kodam V-29. Ada yang bisa saya bantu? ”
“Selamat
sore. Bisa bicara dengan Mas Dwi Budi?”
“Lho,
ini mbak Anik ta? Aku Setyo. Mbak enggak
tahu kabar tentang Mas Dwi?”
“Oalah,
Mas Setyo. Lho, memang ada apa mas? Mas Dwi kemana?”
Hatiku
berdegup kencang. Kulit tipisku merinding tiba-tiba mendengar ucapan Mas Setyo
yang kaget nan menggebu.
“Ya
ampun mbak. Mas Dwi hari ini menikah. Semua pegawai sedang mendatangi
resepsinya sekarang di JL. Ijen, rumah komandan Mas Dwi. Ini aku sedang piket.
Apa mbak tidak diundang? Mbak kesana saja segera”
Pecahlah
tangis yang selama ini ingin ku bendung. Seperti ada yang mencabik-cabik ulu
hatiku. Tanganku lemas menggenggam gagang telepon hingga tak terasa telah jatuh
menggelantung. Tubuhku layu dalam pelukan tiang biru penyangga telepon umum itu. Mengapa ia
harus menyembunyikan semua ini padaku?
Setelah
tersadar kuraup segera gagang telepon yang jua nampak bergelantung lemas. Masih
kudengar suara Mas Setyo yang memanggil namaku.
“Hallo
mbak? Mbak tidak apa-apa?”
“Iya.
Oh tidak apa-apa kok Mas. Terimakasih atas informasinya. Aku akan segera kesana
Mas. Assalamualaikum.” Suaraku bergetar menjawabnya.
Bersama
Niken. Adik angkatanku yang setia menemaniku, kami-pun melaju menaiki angkutan
umum .
Tenda
biru mewah sudah dihadapanku meski dalam pandangan jarak jauh. Aku tak melihat
dengan jelas mempelai, namun dalam anganku nampak jelas raut pujaan hatiku yang
duduk bersandingan itu. Dirinya yang aku idam-idamkan. Yang seharusnya akulah
yang duduk di sampingnya.
Suhu
tubuhku dingin. Pandanganku tak ubahnya pandangan kosong pasien rumah sakit jiwa.
Tubuh mungil ini gontai tak berdaya mendekati kuade megahnya.
Tiba
saatku mengucapkan selamat untuk moment kabahagiaan mereka. Betapa terkejutnya
wajah Mas Dwi melihat kedatanganku. Tangannya kaku berkeringat mejabat
tanganku. Tak ada yang terucap dari mulutnya. Hanya pandangan bingung itu yang
telah mengisyaratkan perkataan “Mengapa
kau ada di sini?”.
Kedatanganku
justru hangat disambut rekan kerja Mas Dwi. Dengan lembut mereka menepuk bahuku
yang rapuh . Tak ada kata selain harus bersabar dan menerima kenyataan.
***
20 Juni 1992
“Mengalirlah wajar,
rasaku.. Sayangku, ambisiku yang menggebu sungguh sangat menyesatkanku. Aku
berjalan lepas penuh kepercayaan diri. Aku tak tahu ada jurang di depanku, lalu
aku terperosok, jatuh dan sakit.
Oh jiwaku yang kesakitan,
seharusnya engkau wajarkan rasamu. Tuhan yang akan merangkulmu.”
“Dik
Anik, surat untukmu” Teriak Mbak Susi.
Aku
menghentikan jemariku yang sedang asik menulis dan bergegas menjemput surat
itu. Hati kecil bertanya siapakah sosok pengirim surat itu.
“Untukmu Dik Anik,
Sungguh aku tak wajar dalam mencintaimu dan memimpikanmu. Aku
tak tau jalan hidupku akan se-dilema ini. Hingga detik ini, aku hanya
mencintaimu. Seharusnya engkau dik, seharusnya engkau. Aku tidak mencintai
isteriku. Aku terpaksa harus memunggungi lelapnya. Aku tak mampu Dik. Maafkan
aku, agar aku tenang.”
Sepucuk
surat balasan kutuliskan dengan penuh ketenangan setelah kubaca surat darinya.
Hanya berisi satu kalimat untuknya.
“Maaf, Engkau Hanya Belum Terbiasa”.
Created By : Fitria Rizky Sutrisna
0 komentar:
Posting Komentar