Sangat mudah
bagi Sakti Mahardika, remaja berumur 21 th yang menempuh pendidikan kedokteran
di Universitas ternama di Bandung, untuk berdialog langsung dengan dekan
fakultas, Prof.Dr.Hilmawan mengenai Tugas Ahir yang akan ditempuhnya.
“Seperti yang pernah saya jelaskan, setelah
lulus S1, saya akan mengambil spesialis herbal. Saya percaya bahwa masih banyak
orang yang tinggal di pedalaman menggunakan racikan obat herbal yang diwariskan
nenek moyang mereka terdahulu. Sedikit banyak saya telah mempelajari teori
menyangkut herbal yang dikombinasi dengan teknologi. Saya hanya ingin kroscek tentang
apa-apa saja yang orang pedalaman gunakan sebagai obat, dengan Ilmu kedokteran
yang telah diuji secara sah. Karena tidak sedikit yang mereka gunakan obat,
ternyata mengandung Narkotika yang tidak mereka sadari. Dokter pasti mengerti
maksud saya.”
“Niat yang bagus. Saudara
telah memikirkan resikonya? Kebanyakan suku pedalaman hidup liar.”
“Saya memiliki niat
yang baik Dok. Saya juga mengajak saudara Reza sebagai teman. Saya akan mencari
tempat tinggal yang aman. Menurut saudara saya yang tinggal disana, meski suku
itu masih sangat menghargai leluhur dan banyak peraturan adat, namun mereka
masih menerima teknologi.”
“Baik. Namun karena ini
misi yang berat, saudara harus menghadap langsung Rektor. Pihak Universitas
tidak semudah itu bertanggungjawab apabila terjadi sesuatu. Waktu saudara 3
bulan sebelum menandatangani surat keberangkatan. Pikirkan matang-matang.”
“Saya mengerti Dok.
Terimakasih” Jabat tangan keduanya mengakhiri pembicaraan . Sakti segera
meninggalkan ruangan. Hatinya cukup puas akan respon Dr.Hilmawan yang seakan
menyetujui keberangkatannya.
***
Pekan ketegangan masih
berselubung di Fakultas Kedokteran. Hiruk pikuk mahasiswa semester akhir yang
mengajukan surat ijin menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak yang kalut,
karena mereka tidak mungkin sekedar melakukan tugas ecek-ecek. Apabila tidak
mampu menciptakan penemuan, paling tidak harus melakukan penelitian yang tidak
murahan.
Dua pekan kemudian, Sakti
dan Reza berangkat menuju perkampungan yang telah direncanakan. Merupakan
perjalanan jauh. Pesawat-kendaraan darat-sampan, dijajal satu persatu oleh
mereka. Menghabiskan waktu 8 jam untuk benar-benar sampai di lokasi tujuan.
Suasana hijau nan asri khas aroma hutan, namun tidak
mencekam seperti yang sempat terbersit di benak keduanya. Kicau burung
senantiasa ramah menyambut kedatangan mereka. Di pikiran mereka adalah
masyarakat yang memakai baju “alami”, tinggal di rumah seadanya, dupa-dupa di
tiap sudut. Ternyata mereka salah. Tidak ada bedanya dengan suasana perkampungan
normal, hanya saja ini terletak di dekat hutan.
“Seberapa pedalamankah mereka?
Tidak kulihat suatu yang janggal” Bisik Sakti pada Reza saat berjalan kecil
menyusuri kampung itu.
“Ini pertama kali
kedatangan kita, tidak bisa dengan mudah kita menilai. Sebaiknya kita segera
bertemu kepala suku. Orang-orang mulai menatap kita dengan aneh.”
Sakti mengiyakan perkataan Reza. Tiba-tiba dari arah belakang ada yang memegang pundak Sakti. Kecepatan jantungnya mungkin naik karena kaget. Sakti-pun berbalik, diikuti Reza.
“Orang Jawa?” Tanya orang asing itu singkat.
“Ya, benar. Mohon maaf sebelumnya. Kami berniat baik, dan ingin menemui kepala suku kampung ini.” Jawab Sakti tegas meski diliputi perasaan tegang.
“Tidak perlu gugup. Perkenalkan, saya Samangun. Saya-lah kepala suku kampung ini.”
Sakti sempat tidak percaya. Penampilannya perlente, memakai seragam PNS. Nampaknya juga tidak menyeramkan. Beliau ramah.
“Oh, senang bertemu anda” Sakti tersenyum sambil berjabat tangan. Begitu juga Reza.
“Mari singgah dulu dirumah saya. Tidak enak berbincang disini”
Sambutan hangat dari Bapak Samangun memecah keresahan. Rumah beliau tidak jauh dari tempat perbincangan mereka.
Rumah sederhana namun memperlihatkan kesan eksotik dengan ornament khas Kalimantan. Maklum, rumah kepala suku, pasti terlihat lebih menonjol dibanding yang lain.
“Lalu, ada perlu apa di kampung ini? Anda seorang mahasiswa? Apakah ada semacam penelitian?” Tanya Pak Samangun beruntun di ruang tamu, seraya disuguhi air nira oleh gadis cantik yang keluar dari arah belakang rumah.
“Benar. Kami adalah mahasiswa kedokteran. Maksud kedatangan kami untuk mempelajari obat-obat herbal yang digunakan di kampung ini, yang akan kami cocokkan dengan Ilmu yang telah kami pelajari. Saya lihat daerah sini masih sangat alami.” Jelas Sakti
“Baik. Kurasa kalian harus tinggal beberapa minggu. Namun ada beberapa syarat bagi orang asing yang ingin tinggal disini. Oya, panggil saja saya Papak”
Sakti mengiyakan perkataan Reza. Tiba-tiba dari arah belakang ada yang memegang pundak Sakti. Kecepatan jantungnya mungkin naik karena kaget. Sakti-pun berbalik, diikuti Reza.
“Orang Jawa?” Tanya orang asing itu singkat.
“Ya, benar. Mohon maaf sebelumnya. Kami berniat baik, dan ingin menemui kepala suku kampung ini.” Jawab Sakti tegas meski diliputi perasaan tegang.
“Tidak perlu gugup. Perkenalkan, saya Samangun. Saya-lah kepala suku kampung ini.”
Sakti sempat tidak percaya. Penampilannya perlente, memakai seragam PNS. Nampaknya juga tidak menyeramkan. Beliau ramah.
“Oh, senang bertemu anda” Sakti tersenyum sambil berjabat tangan. Begitu juga Reza.
“Mari singgah dulu dirumah saya. Tidak enak berbincang disini”
Sambutan hangat dari Bapak Samangun memecah keresahan. Rumah beliau tidak jauh dari tempat perbincangan mereka.
Rumah sederhana namun memperlihatkan kesan eksotik dengan ornament khas Kalimantan. Maklum, rumah kepala suku, pasti terlihat lebih menonjol dibanding yang lain.
“Lalu, ada perlu apa di kampung ini? Anda seorang mahasiswa? Apakah ada semacam penelitian?” Tanya Pak Samangun beruntun di ruang tamu, seraya disuguhi air nira oleh gadis cantik yang keluar dari arah belakang rumah.
“Benar. Kami adalah mahasiswa kedokteran. Maksud kedatangan kami untuk mempelajari obat-obat herbal yang digunakan di kampung ini, yang akan kami cocokkan dengan Ilmu yang telah kami pelajari. Saya lihat daerah sini masih sangat alami.” Jelas Sakti
“Baik. Kurasa kalian harus tinggal beberapa minggu. Namun ada beberapa syarat bagi orang asing yang ingin tinggal disini. Oya, panggil saja saya Papak”
“Syarat apa itu Pak?”
Reza menyahut.
”Tidak berbeda dengan
kampung-kampung lain yang didatangi orang asing. Kalian harus bersikap baik
dengan warga sekitar. Namun jangan teralalu terbuka saat berbincang dengan
orang selain papak. Kedua, kalian jangan keluar rumah diatas pukul 6 sore.
Ketiga, banyak gadis di kampung ini. Jangan sampai kalian tertarik atau menarik
gadis tersebut. Kulihat kalian adalah pria yang pandai dan menarik. Jadi
jagalah sikap kalian.”
Peraturan yang wajar.
Namun peraturan ketiga sedikit membuat keduanya mengernyit. Namun niat mereka
bukan untuk mencari cinta. Keduanya pun mengangguk dan siap menaati peraturan.
Malam pertama tinggal
di daerah pedalaman. Suhu kira-kira mencapai 20°C. Malam yang hanya Sakti dan
Reza gunakan berunding akan rencana esok sambil bernaung di balik sarung yang dipinjamkan
Papak. Rasa capai raga dan pikiran mengantar mereka tidur di kamar kayu yang
penuh kehangatan.
***
Oksigen pagi terasa
sesegar angin surga. Suara kental perkampungan yang tak biasa Reza dan Sakti
dengarkan setiap paginya jika berada di kota besar. Ayam berkokok bersahutan.
Sarapan telah terhidang rapi di meja makan setelah mereka selesai membersihkan diri.
Hidangan istimewa yang mereka nikmati tak tersisa sedikitpun. Sakti dan Reza melanjutkan misi untuk pergi ke hutan. Papak dan Mamak mengijinkan mereka pergi sendiri, asal tidak sejauh 2 km dari kampung.
Menyusuri lebat hutan, disorot matahari yang masih berdiam di timur. Warga asli banyak yang mencari kebutuhan sehari-hari langsung di hutan itu.
Ada sekitar 15 jenis tumbuhan obat yang mereka temukan.Tumbuhan yang sangat jarang ditemukan di kota. Pasti akan menjadi ekspedisi hebat mereka.
Sepanjang jalan kembali menuju kampung. Reza menanyakan sesuatu yang aneh.
Sarapan telah terhidang rapi di meja makan setelah mereka selesai membersihkan diri.
Hidangan istimewa yang mereka nikmati tak tersisa sedikitpun. Sakti dan Reza melanjutkan misi untuk pergi ke hutan. Papak dan Mamak mengijinkan mereka pergi sendiri, asal tidak sejauh 2 km dari kampung.
Menyusuri lebat hutan, disorot matahari yang masih berdiam di timur. Warga asli banyak yang mencari kebutuhan sehari-hari langsung di hutan itu.
Ada sekitar 15 jenis tumbuhan obat yang mereka temukan.Tumbuhan yang sangat jarang ditemukan di kota. Pasti akan menjadi ekspedisi hebat mereka.
Sepanjang jalan kembali menuju kampung. Reza menanyakan sesuatu yang aneh.
“Sakti, kamu melihat
tidak gadis yang ada dirumah Papak?”
”Gadis yang membawa air nira dulu?”
”Iya. Kenapa ia tak muncul lagi ya? Bukankah itu anak Papak? Aku sesekali melihatnya, lalu kembali lagi di kamarnya. Tadi juga tidak diajak sarapan. Padahal aku tau dia yang memasak makanannya.”
”Pembantunya mungkin?” Jawab Sakti.
”Ah kamu ini. Cantik sekali,masih muda juga. Usianya mungkin masih 17 tahun.” Reza menyanggah.
”Kamu tak ingat pesan Papak dulu?”
”Ya ingatlah! Aku kan Cuma berbagi cerita. Mungkin saja kau suka. Kulit putih, rambut panjang, sorot mata menawan. Asal tidak bolong belakangnya.”
”Hus. Jangan bicara aneh-aneh di hutan belantara seperti ini”
”Gadis yang membawa air nira dulu?”
”Iya. Kenapa ia tak muncul lagi ya? Bukankah itu anak Papak? Aku sesekali melihatnya, lalu kembali lagi di kamarnya. Tadi juga tidak diajak sarapan. Padahal aku tau dia yang memasak makanannya.”
”Pembantunya mungkin?” Jawab Sakti.
”Ah kamu ini. Cantik sekali,masih muda juga. Usianya mungkin masih 17 tahun.” Reza menyanggah.
”Kamu tak ingat pesan Papak dulu?”
”Ya ingatlah! Aku kan Cuma berbagi cerita. Mungkin saja kau suka. Kulit putih, rambut panjang, sorot mata menawan. Asal tidak bolong belakangnya.”
”Hus. Jangan bicara aneh-aneh di hutan belantara seperti ini”
Penelusuran mereka
berhasil. Setelah berdialog dengan tabib setempat, hasil analisisnya hampir
sama. Memang tabib itu terlihat sakti. Hanya saja ada sedikit perbedaan tentang
cara mengonsumsinya sebagai obat. Padahal apabila tidak dengan cara yang benar,
banyak tumbuhan yang diantaranya bersifat memabukkan dan berdosis tinggi. Namun
tabib itu mengaku bahwa tidak ada kasus keracunan dan sejenisnya, karena pasti
ada upacara tertentu sebelum proses meminum ramuan. Dari sinilah mungkin
kekuatan gaib terbaca. Semuanya masih mengandung unsur dinamisme meski warga di
sini telah memiliki agama. Di rumah sang tabib justru mereka banyak diberi
ramuan-ramuan lain yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Merupakan suatu
keuntungan apabila berhasil membawa pulang obat baru yang akan mereka uji
secara klinis nantinya.
Menjelang sore, mereka bergegas pulang. Mengingat harus segera tiba sebelum pukul 6. Di malam kedua mereka mulai mengerjakan hasil penelitian yang pertama. Masih dalam suasana sunyi dibalik tembok kayu.
Menjelang sore, mereka bergegas pulang. Mengingat harus segera tiba sebelum pukul 6. Di malam kedua mereka mulai mengerjakan hasil penelitian yang pertama. Masih dalam suasana sunyi dibalik tembok kayu.
Hari-hari berikutnya
masih mereka isi dengan penelusuran. Tidak hanya tabib sebagai subjek, namun
juga masyarakat sekitar.
***
Saat itu Papak dan
Mamak sedang pergi ke kota. Ternyata benar perkiraan Reza, bahwa gadis itu anak
Papak Samangun. Setelah 2 pekan Sakti dan Reza tinggal di rumah kepala suku
itu. Baru kali inilah gadis itu mau muncul dan berbincang. Karena adat ia
menutup diri dari orang asing. Namun gadis itu melek pendidikan. Ia lulusan SMA
ternama di kota. Sebenarnya ia risih dengan kehidupan adat yang kaku. Ia ingin
seperti remaja pada umumnya. Ia juga ingin melanjutkan kuliah, namun Papaknya
melarang. Apalagi ia gadis semata wayang ketua suku. Gadis bernama Bethari itu
menceritakan banyak hal tentangnya atau tentang kampungnya. Hingga tak terasa
malam menyambut kehangatan pembicaraan mereka.
Sebuah pertanyaan yang tak mampu dibendung Sakti adalah mengapa orang asing tak boleh tertarik atau menarik gadis kampung itu. Padahal bila harus diakui, gadis-gadis di kampung itu sangat menarik dan cantik alami.
“Hanya agar pewaris suku adalah warga asli. Sehingga budaya tidak akan hilang disamping perkembangan jaman yang menggelora. Sebenarnya tidak terjadi apapun saat aku pernah jatuh hati dengan teman sekolahku kak. Papak saja yang terlalu kaku. Budaya boleh ditegakkan, namun hak untuk mencintai merupakan hak individual kan. Aku sendiri belum berani mengemukakan ini semua pada Papak”
Sebuah pertanyaan yang tak mampu dibendung Sakti adalah mengapa orang asing tak boleh tertarik atau menarik gadis kampung itu. Padahal bila harus diakui, gadis-gadis di kampung itu sangat menarik dan cantik alami.
“Hanya agar pewaris suku adalah warga asli. Sehingga budaya tidak akan hilang disamping perkembangan jaman yang menggelora. Sebenarnya tidak terjadi apapun saat aku pernah jatuh hati dengan teman sekolahku kak. Papak saja yang terlalu kaku. Budaya boleh ditegakkan, namun hak untuk mencintai merupakan hak individual kan. Aku sendiri belum berani mengemukakan ini semua pada Papak”
Sakti kagum akan pola
pikir gadis ini yang fleksibel, namun juga benar. Malam yang tidak sedingin
biasanya merayu Reza dan Sakti untuk tidur setelah puas berbincang dengan gadis
18 tahun itu.
***
Hari ke 5 setelah
kepergian Papak dan Mamak membuat Reza, Sakti dan Bethari semakin akrab. Kisah
& sejarah yang didongengkan Bethari malah membuat bahan tulisan Sakti semakin
berkembang. Cukup lama di kampung itu tak hanya obat herbal yang Sakti dan Reza
teliti. Secara kebetulan mereka mempelajari psikologi dan cara berpikir orang pedalaman
dan mengenai dinamisme yang kental.
Ternyata Bethari merupakan
gadis terpandai di kampungnya. Ialah yang mengajarkan baca tulis anak yang
dikatakan kurang mampu untuk sekolah di kota. Dia juga sangat antusias
mempelajari buku-buku milik Sakti. Merupakan kesempatan sebelum orang tuanya
kembali pulang.
Hari-hari berlalu
dengan saling bertukar pikiran antara keduanya. Meski dengan gadis lulusan SMA,
pembicaraan ilmiah mereka terus berkecambuk indah.
“Apa yang kupikirkan
ini ya Za?” pertanyaan aneh Sakti pada Reza di larut malam.
”Maksudmu apa? Oh..oh.. Kurasa aku tau alasannya bila anak muda seusiamu mulai berkata aneh. Kau jatuh cinta?”
”Bagaimana kau langsung menuduh seperti itu?” Sakti menyahut cepat.
”Itu kata buku psikologi” Jawab Reza tenang sambil melanjutkan tugas yang digarapnya.
”Jarang ada gadis pedalaman yang antusias akan pendidikan. Semoga aku hanya kagum.”
”Kamu tak ingat pesan Papak dulu?” pertanyaan yang sempat Sakti tanyakan dulu diulang oleh Reza dengan nada bicara menyindir sambil terkikik.
”Kenapa aku jadi seperti orang bodoh mendadak. Ya Tuhan...” Sakti resah.
”Orang sejenius engkaupun juga akan bosan jika terus berpacaran dengan pelajaran. Kedokteran menuntut kita untuk mengoptimalkan otak kiri, namun jangan lupakan otak kanan yang menstimulasi perasaan.”
”Kapan kita pulang Za? Hatiku resah.”
”Kita akan pulang bila waktunya pulang. Maafkanlah dirimu!”
”Maksudmu apa? Oh..oh.. Kurasa aku tau alasannya bila anak muda seusiamu mulai berkata aneh. Kau jatuh cinta?”
”Bagaimana kau langsung menuduh seperti itu?” Sakti menyahut cepat.
”Itu kata buku psikologi” Jawab Reza tenang sambil melanjutkan tugas yang digarapnya.
”Jarang ada gadis pedalaman yang antusias akan pendidikan. Semoga aku hanya kagum.”
”Kamu tak ingat pesan Papak dulu?” pertanyaan yang sempat Sakti tanyakan dulu diulang oleh Reza dengan nada bicara menyindir sambil terkikik.
”Kenapa aku jadi seperti orang bodoh mendadak. Ya Tuhan...” Sakti resah.
”Orang sejenius engkaupun juga akan bosan jika terus berpacaran dengan pelajaran. Kedokteran menuntut kita untuk mengoptimalkan otak kiri, namun jangan lupakan otak kanan yang menstimulasi perasaan.”
”Kapan kita pulang Za? Hatiku resah.”
”Kita akan pulang bila waktunya pulang. Maafkanlah dirimu!”
Entah merupakan musibah
atau anugerah saat di suatu pagi Reza tak sengaja menemukan tulisan Bethari
yang tertinggal di meja makan. Menceritakan kekagumannya pada seseorang. Orang
itu tak lain adalah Sakti. “Besok Papak Mamak pulang. Mereka tak boleh tau,
atau aku dan Sakti kena kutukan. Ah, apa yang kukatakan ini!” Reza mulai panik.
Reza tak berniat
menceritakannya pada Sakti. Namun justru Sakti-lah yang bercerita bahwa siang
tadi Bethari mengungkapkan rasa kagum padanya.
“Sebagai pria yang jantan, aku akhirnya juga mengaku Za.” Sakti bercerita dengan mimik yang lemas tak berdaya.
“Dia sangat bahagia saat akupun mengaku akan perasaanku. Padahal aku sangat ingat syarat yang dikatakan Papak dulu. Namun ia meyakinkanku bahwa tak akan terjadi apa-apa. Sekali lagi ini hanya kepercayaan, Bahwa gadis yang menikah dengan bukan warga asli, tidak akan hidup sejahtera. Kata Bethari, itu bukan alasan logis. Bethari ingin melanjutkan belajar Za, tidak tertutup dengan adat. Ia ingin belajar bersamaku” Tambah Sakti.
“Sebagai pria yang jantan, aku akhirnya juga mengaku Za.” Sakti bercerita dengan mimik yang lemas tak berdaya.
“Dia sangat bahagia saat akupun mengaku akan perasaanku. Padahal aku sangat ingat syarat yang dikatakan Papak dulu. Namun ia meyakinkanku bahwa tak akan terjadi apa-apa. Sekali lagi ini hanya kepercayaan, Bahwa gadis yang menikah dengan bukan warga asli, tidak akan hidup sejahtera. Kata Bethari, itu bukan alasan logis. Bethari ingin melanjutkan belajar Za, tidak tertutup dengan adat. Ia ingin belajar bersamaku” Tambah Sakti.
“Bagaimana dengan
Papak? Bagaimana cara mengatakannya? Usiaku sudah 26 th, dan aku belum menikah.
Aku tak ingin kena kutukan!” Jawab Reza
”Jangan berkata bodoh! Aku akan mengatakannya besok Za.” Kata Sakti mantab.
”Jangan berkata bodoh! Aku akan mengatakannya besok Za.” Kata Sakti mantab.
Do’a, dzikir, dan
munajat Sakti kali ini khusus ditujukan untuk Bethari. Berharap pintu cinta
mereka terbuka dengan indah. Kekaguman Sakti pada Bethari adalah karena rasa
ingin tahunya akan dunia pendidikan yang kuat. Sulit mencari celah bagi Sakti
untuk mencintai seseorang, namun Bethari yang tlah membuka celah itu. Sayang
sekali jika benih seperti ini teronggok di pedalaman yang tak terendus. Sakti
ingin mengajaknya belajar bersama. Sehingga Bethari mampu menjadi jembatan
pembuka pola pikir kampungnya yang terkadang masih kolot. Karena adat bukan
alasan untuk tertutupnya dunia pendidikan yang luas.
***
Papak dan Mamak tiba di
rumah dengan selamat. Sakti dan Reza menyambutnya dengan hangat. Bila mereka
telah melepas rasa penat paling tidak besok Sakti akan menjelaskan apa yang
telah ia dapatkan dan rasakan. Suasana rumah kembali seperti saat pertama Sakti
datang. Bethari banyak menghabiskan waktu di kamar.
Satu bulan sudah Sakti
dan Reza menetap di rumah Papak Samangun. Tugas sudah hampir selesai, tinggal
finishing untuk hasil terbaik. Namun Sakti tak akan pergi sebelum mangatakan
tentang perasaannya tentang Bethari.
Pagi yang mendung seakan juga ikut merasakan
kegelisahan Sakti. Saat Papak duduk di teras sambil memandang langit, Sakti
memberanikan diri untuk berbicara. Reza hanya mengawasi di balik jendela seraya
melantunkan doa.
“Papak. Apa yang akan
terjadi jika saya tertarik pada salah satu gadis di kampung ini?”
Papak tampak sangat kaget mendengarkan pertanyaan Sakti.
”Anak muda, apa kau lupa akan syarat yang Papak katakan padamu!” Nada bicaranya sedikit tegas.
”Maafkan saya Pak. Saya terpaksa melanggar hal itu. Dan menerima apapun yang akan terjadi. Bukan hanya tertarik. Saya jatuh hati kepada Bethari, anak Papak.”
Papak tampak sangat kaget mendengarkan pertanyaan Sakti.
”Anak muda, apa kau lupa akan syarat yang Papak katakan padamu!” Nada bicaranya sedikit tegas.
”Maafkan saya Pak. Saya terpaksa melanggar hal itu. Dan menerima apapun yang akan terjadi. Bukan hanya tertarik. Saya jatuh hati kepada Bethari, anak Papak.”
“Apa yang telah kau
lakukan pada anakku!” Pak Samangun beranjak dari duduknya.
”Tidak Pak. Saya berani bersumpah tidak melakukan apapun. Saya melihat Bethari adalah gadis yang sangat pandai. Saya ingin mengajaknya menimba Ilmu bersama. Saya mengaguminya. Seharusnya Papak tidak mengunci mimpinya.”
”Tahu apa kau anak muda? Saya adalah orang terhormat di kampung ini. Saya telah menjodohkannya dengan warga suku asli kampung ini, yang juga merupakan anak orang yang terhormat. Mereka akan menjadi pewaris suku yang tepat. Bukan orang asing sepertimu.”
”Tidak Pak. Saya berani bersumpah tidak melakukan apapun. Saya melihat Bethari adalah gadis yang sangat pandai. Saya ingin mengajaknya menimba Ilmu bersama. Saya mengaguminya. Seharusnya Papak tidak mengunci mimpinya.”
”Tahu apa kau anak muda? Saya adalah orang terhormat di kampung ini. Saya telah menjodohkannya dengan warga suku asli kampung ini, yang juga merupakan anak orang yang terhormat. Mereka akan menjadi pewaris suku yang tepat. Bukan orang asing sepertimu.”
”Papak, Bethari sangat
menyayangi Papak dan Mamak. Bethari menyayangi Kak Sakti untuk belajar. Untuk
memajukan kampung kita Pak. Bethari tak ingin Papak membatasi hak Bethari”
Sahut Bethari memelas yang ternyata mendengarkan pembicaraan Sakti dengan
Ayahnya.
”Tidak anakku. Kau tidak mungkin menikah dengannya” Papak menunjuk Sakti.
”Jangan memperpanjang masalah ini anak muda. Saya akan cukup sabar jika kau menghargai adat kami.” Tambah Papak pada Sakti.
”Tidak anakku. Kau tidak mungkin menikah dengannya” Papak menunjuk Sakti.
”Jangan memperpanjang masalah ini anak muda. Saya akan cukup sabar jika kau menghargai adat kami.” Tambah Papak pada Sakti.
Mamak yang jua
mendengarkan semua ini hanya mampu menangis melihat anak gadisnya terpuruk.
***
Bethari gadis yang
kuat. Ia yakin akan cintanya pada Sakti. Ia berjanji akan berusaha melunakkan
hati Papaknya. Sakti dan Reza tak mungkin menunda kepulangan setelah kejadian
panas kemarin. Maka hari ini mereka memutuskan pulang. Mereka berterimakasih
akan semua yang telah diberikan keluarga Papak. Namun Papak justru pergi dan
tak ingin mereka pamiti. Tak lupa Sakti berpamitan pada Bethari. Air mata tumpah
tanda perpisahan. Namun Sakti berjanji akan kembali apapun yang terjadi.
Tugas Akhir Sakti dan
Reza berhasil diselesaikan dengan baik. Kepuasan dan kesedihan dirasakan
bersamaan oleh Sakti. Memikirkan cintanya yang termenung di pedalaman.
Satu bulan
kemudian,sebuah kabar mengejutkan melanda Sakti. Kampung tempat tinggal Bethari
mengalami tanah longsor hebat. Korban jiwa berserakan. Kampung itu tlah hancur.
Niat Sakti untuk pergi ke kampung itu sangat kuat. Ia ingin menjenguk Bethari
dan membantu warga lain sebagai tenaga medis.
Kampung yang telah
banyak berubah sepeninggal Sakti. Hampir semua rata oleh tanah. Kondisi Rumah
Papak rusak parah. Untung keluarga Papak selamat. Sangat miris melihat kondisi
Bethari. Kakinya tertiban saka kayu. Lukanya hanya ditutup oleh daun
antiseptik. Namun menurut Sakti, luka itu telah mengalami tetanus karena tak
segera disentuh medis. Tak ada jalan lain bagi Sakti selain membawa Bethari ke
Rumah Sakit.
“Meski harus
diamputasi, Bethari tetap gadisku yang cantik dan tegar.” Suasana haru yang
membuncah tak menyurutkan kasih suci Sakti. Reza dan teman-teman lain yang ikut
menjadi relawan tak kuasa melihat ketegaran temannya itu. Kaki kanan tinggal
separuh. Sedang kaki kiri juga harus diamputasi seperempat bagian. Meski tak
lagi rawat inap di Rumah Sakit, namun kondisi Bethari masih melemah.
“Pak, sorotan mata
Bethari masih menunjukkan semangat, namun tubuhnya lemah untuk bergerak.”
Diagnosa Sakti dikemukakan pada Papak dan Mamak untuk sekedar menenangkan hati
mereka. Secara tiba-tiba Papak merangkul Sakti dan mengajaknya ke teras untuk
membicarakan sesuatu.
“Nak Sakti. Bukan hanya
kondisi putriku yang membuat hati Papak tidak karuan. Keluarga pria yang telah
kujodohkan dengan Bethari enggan menerima kondisi Bethari yang saat ini cacat.
Jika ada gadis yang tidak menikah, suku kampung ini akan terus mengalami
musibah. ” Papak bercerita sambil terisak-isak.
“Bukan karena adat atau
kepercayaan. Agama juga telah mengatur akan jodoh Pak. Menikah akan barokah
asal dilandasi dengan ketulusan. Dan hal itu tak bisa dikekang oleh adat. Saya
menepati janji saya Pak, saya akan menerima Bethari meski dengan kondisi
seperti itu.”
Papak memeluk tubuh
Sakti dengan tangis yang pecah. Ia terharu akan cinta Sakti yang tulus. Secara
tak langsung juga telah merubah pola pikir Papak Samangun. Sakti berjanji akan
kembali setelah menyelesaikan semester akhir kuliahnya.
***
Niat kembali untuk
membahagiakan gadis yang dicintainya terpendam sudah. Kondisi Bethari kian
memburuk di ruang ICU. Situasi perkuliahan tak mampu ditinggalkan Sakti. Andai
Bethari bisa mendengarkan sayup suara Sakti, tentu akan sedikit memompa detak
jantungnya yang melemah.
Dua hari kemudian Sakti
baru sampai di Rumah Sakit tempat Bethari dirawat.
“Ia gadisku yang
cacat namun sempurna. Ia telah membeku. Kecantikan yang pucat. Napas yang tak
berhembus. Sorot mata yang kosong. Mari kita belajar sayang..
Lihat, aku menangisimu. Kau lampu penerang belajarku untuk melihat adat yang gelap. Cinta kita tak dibatasi adat, itu katamu. Kenapa kau tertidur? Mari kita belajar sayang..
Kepandaianmu yang telah membiusku tuk mencintai sgala yang kau miliki. Kau jembatanku dalam merubah pola pikir keluargamu, kampungmu, wargamu yang terpaku adat. Bangun! Mari kita belajar sayang..”
Created By : Fitria Rizky Sutrisna
Lihat, aku menangisimu. Kau lampu penerang belajarku untuk melihat adat yang gelap. Cinta kita tak dibatasi adat, itu katamu. Kenapa kau tertidur? Mari kita belajar sayang..
Kepandaianmu yang telah membiusku tuk mencintai sgala yang kau miliki. Kau jembatanku dalam merubah pola pikir keluargamu, kampungmu, wargamu yang terpaku adat. Bangun! Mari kita belajar sayang..”
Created By : Fitria Rizky Sutrisna
0 komentar:
Posting Komentar